Freelance : Wedding Contract – Part 1

1004420_201975279957937_2072339135_n

wokeeeeeee…………

Lanjutannya dah siap. yeeyeyeyyeyeyey….

HAPPY READING!!!!!!!!!

*****

Berkali-kali aku mengetukkan jari ke atas meja. Sesekali, ku gigit pelan bibir bawah yang meninggalkan sedikit rasa perih. Bola mata bergerak, mencari titik pandangan yang ku harapkan bisa mengalihkan perasaan suntuk ini. Aku hampir menjerit frustasi hanya dengan mengingat keyword “menikah”. Bagaimana tidak, tawaran pria sinting bernama Lee Donghae itu terus saja memenuhi otak.

Ku tarik laci meja dan mengambil kertas berjenis Linen Holland berukuran 91×55 mm. Tepat sekali ! Kartu nama yang beberapa hari lalu berpindah tangan ini, secara tidak sengaja masih ku simpan. Tanpa sadar, tangan kiri sudah menopang dagu ketika satu tangan yang lainnya memainkan kartu nama milik Donghae. Membuat gerakan memutar dan sesekali hanya membolak-balik benda berukuran kecil itu.

“Apa yang ada di otaknya ketika mengajakku menikah?” Seperti orang yang tidak waras, mulut berbicara sendiri diluar kendali. Beberapa menit mataku mengamati kartu nama itu, bahkan, berkali-kali mengeja nama pria bermarga Lee yang ku temui kemarin sore di salah satu restoran dekat Shibuya, Jepang.

Tidak menemukan jawaban, tubuhku bangkit dan mendorong kursi besi yang berada di sebelah ranjang tidur. Aku berjalan ke arah tong sampah yang tergeletak manis di dekat jendela. Dan dengan satu kali gerakan, kertas yang terlihat begitu eksklusif itu sudah berakhir menyedihkan bersama tumpukan sampah kertas yang lain.

“Tuk…tuk…tuk…”

Kepalaku berputar. Aku mendapati Hana sudah berdiri di ambang pintu seperti patung yang dipajang di pusat-pusat perbelanjaan. Wanita itu tersenyum simpul, kemudian mengacungkan benda persegi panjang berwarna silver ke arahku.

“Telepon…,” Hana tersenyum manis. Menampilkan deretan gigi yang nampak begitu putih dan rapi.

“Siapa?”

“Ibumu.” Hanya satu kata dari Hana, tapi sukses mengaduk-aduk perutku yang baru diisi setangkup roti beberapa jam yang lalu.

“Katakan saja, aku sedang malas berdebat dengannya.” Mengabaikan tatapan aneh Hana, langkahku tertuju kembali pada meja kerja yang terlihat sedikit berantakan, banyak majalah dan buku-buku tebal bertuliskan huruf hangeul tergeletak sembarangan di sana.

Dengan cepat, aku menjatuhkan tubuh di atas kursi dan kembali fokus pada layar komputer yang memajang artikel setengah jadi yang menunggu untuk segera dirampungkan sebelum tanggal jatuh tempo deadline. Meski tidak begitu jelas, telingaku masih bisa menangkap helaan nafas wanita muda itu. Dia paham betul, seperti apa hubunganku dengan Nam Yeosin.

“Bibi bilang ini hal penting. Apa salahnya meladeninya sebentar.” Bujuk Hana.

“Aku sibuk Kim Hana.” Dengusku sebal. Mengacuhkan teman yang lebih muda beberapa bulan dari usiaku, tetap saja tidak bisa mengembalikan konsentrasi yang sudah terlanjur berkurang.

“Jung…,” hampir saja aku membanting mouse yang masih berada dibawah kendali tangan kanan begitu mengetahui Hana belum beranjak dari kamar. Dengan kasar, ku dorong kursi hingga mengeluarkan suara decitan yang kuat.

“Kau menang Kim Hana.”

Aku menyambar cepat telepon yang masih dipegang Hana. Sebelum memulai adu argumen dengan Nyonya tak tahu diuntung itu, aku mengibaskan tangan beberapa kali, isyarat pengusiran secara tidak hormat pada Hana. Dan seperti biasa, siapa pun tidak akan menemukan ekspresi murka dari wajah oriental wanita berdarah asia itu.

“Jangan lupa tutup pintunya!!!” Pesanku sebelum tubuh Hana menghilang di balik pintu.

Sebelum menerima telepon Yeosin, aku berdehem sebentar. Mengatur pita suara yang serasa terjepit kawat besi. Aku berjalan ke arah ranjang tidur, duduk di atasnya dengan menyilangkan dua kaki untuk mencari posisi nyaman.

“Hallo…,”

“Ha Won-ah…” Tukas cepat istri ke dua ayahku. Kalau boleh jujur, sangat tidak pantas membandingkan mendiang ibu dengan wanita gila itu.

“Bagaimana kabarmu sayang?” Dan sayangnya, aku selalu menganggap kata sayang yang keluar dari mulut wanita itu hanyalah “kamuflase” yang dibentuk untuk membodohi paradigmaku yang sudah terlanjur memvonisnya sebagai manusia terburuk.

“Baik.” Jawabku singkat. Aku benci dengan basa-basi yang dibuat Yeosin. Apa wanita itu tidak bisa langsung ke inti permasalahan yang ingin segera disampaikan?

“Apa, kau makan dengan teratur, sayang?” Aku bisa membayangkan, ekspresi apa yang sedang ditampilkan wanita itu di depan cermin besar yang terletak di ruang tengah rumah kami. Dan kalau tidak salah tebak, bajingan itu juga berada di sana, mengamati dengan pandangan yang teramat sangat menjijikkan setiap gerak-gerik Yeosin. Membayangkan imajinasi itu benar-benar menjadi kenyataan, aku menelan kuat ludah yang seperti duri menyucuk kerongkongan. Meski sakitnya tidak seberapa, tetap saja ada bekas gurat luka itu.

“Aku benci dengan basa-basimu itu Nam Yeosin. Cepat katakan apa yang ingin kau sampaikan!” Tidak peduli wanita itu melihat atau tidak, aku tetap menyunggingkan senyuman sinis yang berhasil menarik salah satu sudut bibir. Menertawakan ketololan yang dilakukan Yeosin.

“Karena aku peduli padamu, Ha won-ah.” Jawabnya disertai suara desahan nafas yang terdengar begitu berat. Dan persetan bila itu bisa diartikan sebagai sebuah penyesalan besar. Rasa benci sudah terlanjur mendominasi otakku.

“Peduli?” Nada suaraku meninggi. Andai saja vas bunga yang tergeletak pas di atas meja kerja beralih tempat, jari-jari lentikku sudah pasti meraihnya dan melempar benda berwarna putih itu ke dinding.

“Jung, aku tulus. Apa, sekali saja tidak bisa mempercayai ucapanku?” Aku menangkap perasaan lelah di setiap kalimatnya, hanya saja, sulit untuk bisa kembali mempercayai wanita itu. Nam Yeosin, meski tidak sepenuhnya kesalahan terletak pada wanita itu, tetap saja aku menganggapnya bersalah.

“Kau, bukan wanita bodoh kan Nam Yeosin? Jadi, ku rasa kau tahu jawabannya.” Aku membuang bantal yang sedetik tadi masih bergelung dengan tubuhku ke sembarang arah. Segera bangkit dan berniat mematikan sambungan telepon dari wanita itu.

“Ada yang ingin aku sampaikan padamu, Ha Won-an.” Aku memilih diam. Tidak menanggapi ucapan Yeosin dan membiarkan kesempatan berada dalam genggaman wanita itu.

Selama beberapa menit kami sama-sama berjibaku dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang sedang Yeosin lakukan, wanita itu tidak kunjung menyambung kalimatnya dengan intonasi suara seperti biasa, penuh kelembutan. Dan aku akan dengan senang hati untuk memaknainya sebagai sesuatu yang palsu.

“Aku, dan Kyuhyun…Kami…,”

Nama pria itu kembali masuk dalam pendengaran. Dan untuk alasan yang sama, kantong mataku hampir jebol. Jiwa kedua dalam diriku bersorak, meneriaki kebodohan yang selama ini menjadi pilihan hidup yang sulit untuk ku kecapi. Selama dua tahun aku merasakan letih yang berkepanjangan. Bayang-bayang perselingkuhan Nam Yeosin dan Kyuhyun, seperti sebilah pedang yang memenggal kepalaku hidup-hidup.

“Kami…Bulan depan, akan menikah.” Oh Tuhan! Lelucon apalagi ini. Bagaimana bisa Kau menciptakan manusia brengsek seperti mereka. Hampir saja benda persegi yang masih berada dalam tanganku luruh menyentuh lantai. Aku, tidak bisa melakukan apapun. Nafasku tercekat, ingin menepuk kuat dada yang berdenyut hebat. Tapi, tubuhku hanya seperti patung yang tidak bisa melakukan apapun. Kalau ada satu rasa sakit untuk mewakili perasaan, itu tidak akan cukup untuk membandingkannya.

“Maaf…,”

“Nam Yeosin, bagaimana bisa kau melakukan ini padaku huh?” Setelah kesadaran kembali berada dipihakku. Wanita itu, aku yakin sedang menertawakan nada suaraku yang bergetar.

“Ha Won-ah, aku sudah berusaha kuat, tapi…,”

“Tapi apa Nam Yeosin? Kau, wanita brengsek yang tiba-tiba saja hadir dalam kehidupanku, lalu mengambil semua yang aku punya. Apa yang sebenarnya ada di otakmu itu?” Dadaku kembang kempis menahan lonjakan kemarahan yang sewaktu-waktu bisa membakar habis semua yang ada di ruangan ini. Berkali-kali aku menghapus kasar air mata sialan yang mengotori pipi pasiku. Brengsek! Untuk apa aku menangis, hanya akan mempertontonkan kelemahanku pada dunia.

“Jung, aku tidak bermaksud begitu.” Lirih sekali suara Yeosin.

“Kau, Nam Yeosin. Apa kau lupa, kau masih terikat pernikahan dengan ayah!!!” Jeritku kalap. Aku membekap kuat mulut, tangisku sudah tidak terhindarkan lagi. Wajah menyedihkan pria tuaku tiba-tiba saja berkelebat di depan mata. Pria baik itu, kenapa bisa memungut seorang jalang tak tahu malu untuk dinikahi.

“Sadarlah Ha Won-ah, ayahmu sudah meninggal.” Tidak! Kau benar-benar Nam Yeosin, berhasil membangunkan setan dalam tubuhku.

“Brengsek kau Nam Yeosin. Wanita murahan sepertimu yang berasal dari jalanan, tetap saja tidak akan berubah meski sudah dinikahi oleh pria baik-baik.” Aku menggebrak kuat meja, menimbulkan suara keras yang bisa ditangkap oleh pendengaran wanita murahan itu dari ujung telepon.

“Berapa kali aku harus meyakinkanmu Jung Ha won? Apa surat kematian yang dikeluarkan oleh badan hukum belum juga membuatmu menerima kenyataan yang ada?” Selalu saja, menjadikan selembar kertas yang dikeluarkan pihak hukum sebagai alasan kuat untuk memaksaku menerima kematian ayah. Dan sayangnya, aku menganggap ocehan Yeosin itu hanya seperti omong kosong yang membusuk di tempat pembuangan sampah.

“Jadi, atas dasar itukah kau berani melangkah terlalu jauh? Selama aku belum melihat jasad ayahku, tidak ada yang bisa membuatku yakin.”

“Aku tidak memaksamu untuk yakin. Cepat atau lambat, semua pasti menemukan jalannya Ha Won-ah.” Telingaku menangkap suara derit pintu di ujung sana. Tidak salah tebak bukan, Cho Kyuhyun bersama wanita itu. Memenuhi perintah otak, dua mataku terkatup. Kembali mengingat setiap inci wajah pria yang pernah ku cintai. Dadaku berdesir, sisa-sisa perasaan yang mati-matian aku hindari, ternyata masih berbekas.

“Aku tidak akan memaksamu untuk datang. Hanya saja, aku sedikit berharap kau…,” aku menyahuti cepat ucapan Yeosin sebelum wanita itu menghabiskan kalimat yang ingin disampaikannya.

“Kau memang tidak memaksaku Nam Yeosin. Tapi, kau berharap aku datang dan menjadi bagian dari setiap adegan dramatis pernikahanmu itu bukan?” Mengambil jeda sejenak.

“Dan terus saja berharap, karena aku tidak akan pernah muncul untuk memberikan ucapan selamat pada kalian.” Langsung saja ku matikan sambungan telepon dan melempar benda itu ke atas ranjang. Aku memijit pelan kening yang terasa sakit. Yeosin sungguh sangat hebat, sukses mengaduk-aduk perasaanku.

Entah meyakini takdir atau semacam kebetulan, pupil mataku kembali beradu dengan kertas eksklusif yang beberapa waktu lalu ku lempar ke dalam tong sampah sebelum sempat melakoni adegan melankolis seperti yang terdapat dalam roman picisan karena putus cinta. Sedikit ragu untuk memungutnya, aku menimbang-nimbang. Memungutnya, berarti menjilat ludah sendiri. Tapi, kalau tetap membiarkan benda itu berakhir menyedihkan sebagai sampah yang menjijikkan, aku seperti kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kekuatanku di hadapan manusia-manusia sialan itu.

Tubuhku berjongkok, mengamati sebentar kartu nama Lee Donghae. Dan mungkin inilah yang akan disebut takdir beberapa waktu lagi, pelan sekali tangan kananku terjuntai. Seperti seorang pengemis yang mengais tumpukan kardus bekas untuk mencari barang bernilai milyaran won. Apa salahnya menerima tawaran pria kaya raya itu. Mengeja beberapa digit angka yang tertulis dengan jelas, menghubungi pria itu adalah yang harus aku lakukan sekarang.

 

***

 

Hampir setengah jam aku menunggu Donghae. Entah sudah berapa gelas air putih yang masuk membasahi kerongkongan yang terasa seperti tanah gersang untuk menetralisir keadaan yang membosankan ini. Pebisnis hebat sekelas dia saja masih mengenal kata terlambat, bagaimana bisa pria itu diharapkan menjadi pewaris tetap perusahaan-perusahaan berskala besar. Yang ada, dia akan didepak secara tidak terhormat ketika berhadapan dengan rapat besar yang dihadiri para petinggi atau pemegang saham.

Dari tempat yang dijadikan untuk pertemuan kami, pria itu terlalu berlebihan jika harus mengikis deposito yang jumlah nominalnya sangat fantastis. Restoran tempat para prejudis berkumpul ini, terletak di daerah Shibuya, Jepang. Interior ruangan lebih mengacu pada gaya Eropa kuno. Banyak lampu-lampu kristal yang menggantung cantik di setiap ruangan. Begitu pun dengan benda-benda antik yang tergeletak manis di atas meja.

Kepalaku mendongak ketika mendengar lonceng pintu berbunyi keras. Dan Lee Donghae, sudah berdiri di sana dengan penampilan yang sangat berbeda dengan pertemuan pertama kami. Dia membuka kaca mata hitam yang menyembunyikan sepasang mata hitamnya. Kepalanya bergerak ke sana-kemari, mencari keberadaanku yang membaur bersama ratusan orang pengunjung.

Begitu mata kami bertemu, dari jauh aku masih bisa melihat senyum menyebalkan pria itu. Langkahnya terayun pelan, sangat teratur sekali. Sungguh manner seorang berdarah biru yang sukses di bentuk menjadi sebuah karakter yang kuat. Tapi yang berbeda adalah penampilannya, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi itu hanya dibalut kaos tipis dengan kerah rendah berwarna putih polos, menampakkan lekuk tubuhnya yang sangat berotot. Kalau tidak salah tebak, mungkin tulisan “Polo” atau “Playboy” yang menempel dibagian kerah belakang, salah satu branded terkenal dan milik kalangan beruang.

“Apa aku terlalu cepat sampai?” Kekeh donghae begitu sampai di hadapanku. Pria itu menarik santai kursi dan menjatuhkan tubuhnya di atas sana.

“Sialan kau Lee Donghae. Setengah jam aku menunggumu seperti orang bodoh di sini.” Dengusku kesal. Aku menyambar air putih di depanku dan meneguknya cepat.

“Bukankah kau seekor keledai betina yang dungu, Nona Jung.” Kembali tawa mengejek pria itu menggelegar. Membuat tanganku ingin sekali menyiramkan segelas air putih tepat di wajahnya.

“Aku sedang tidak ingin bercanda Lee Donghae. Hentikan ocehanmu itu!”

“Oke…oke.” Tangan pria itu terangkat tepat di depan mulut. Lalu membuat gerakan horisontal dengan menggabungkan ibu jari dan telunjuk menjadi tanda mengunci rapat-rapat mulutnya.

Seperti memberikan waktu sebentar untukku, yang dilakukan pria itu hanya membolak-balik buku menu setebal novel best saller yang beberapa waktu lalu begitu populer. Dan ketika Donghae masih berjibaku dengan kegiatannya, tanpa sadar fokusku beralih pada bermacam ekspresi pria itu. Mulai dari matanya yag memicing, sampai pada dahi pria itu yang berkerut, seperti sedang berpikir keras.

“Kau ingin makan apa, Ha Won-ah?” Tanya Donghae tanpa mengalihkan pandangan.

“Aku tidak lapar. Jadi, bisa memulai pembicaraan.” Donghae terdiam. Gerakan tangannya juga terhenti seketika. Pria itu menutup cepat buku menu dan melipat kedua tangannya di atas meja. Memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kenapa kau berubah pikiran?” Menelisik ke dalam mata coklatku. Sungguh! sepasang mata itu terlihat begitu suram. Seperti kuburan tua yang mencekam.

“Yang kau butuhkan hanya persetujuan dariku bukan? Jadi…,”

“Bukan kapasitasmu untuk terlalu banyak bertanya.” Sambungnya cepat. Sejak kapan pria itu mampu membaca pikiranku? Benar-benar seperti seorang cenayang.

“Pintar sekali kau Lee Donghae.” Gumamku pada diri sendiri.

“Terima kasih.” Jawabnya bangga.

“Ada yang ingin kau tanyakan tentang kerjasama ini, Nona?” Pembicaraan kami mulai mengacu pada tahapan yang lebih serius. Dan seperti ucapan Donghae, banyak hal yang harus aku ketahui sebelum memutuskan sesuatu yang besar.

“Kenapa memilihku?” Pertanyaan awal.

“Karena persentase kemungkinan kau menolak tawaranku tidak melebihi seperempat angka dari seratus persen yang ada.” Denghae menyunggingkan senyum yang kali ini tidak dibuat-buat. Dan untuk pertama kalinya, aku menyukai caranya itu.

“Bagaimana kau bisa seyakin itu Lee Donghae?”

“Karena aku amat sangat tahu kartu matimu, Jung Ha Won-ssi.” Kartu matiku? Apa, ini ada hubungannya dengan ayah?

“Apa maksudmu?” Rasa penasaran sudah naik ke ubun-ubun. Aku harus mendapatkan jawaban yang tepat dari pria itu.

“Apalagi. Ayahmu, bukan?” Donghae mencodongkan tubuhnya ke arahku. Dan demi Tuhan! Parfum maskulin yang memenuhi penciumanku, sangat memabukkan.

“Bukankah itu hanya akan mempersulitmu Donghae-ssi. Memilihku, sama saja kau harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mencari keberadaan ayah yang belum jelas.” Seperti tidak puas, lagi-lagi aku memborbardir seorang Lee Donghae dengan pertanyaan yang menyudutkan. Pria itu sudah kembali pada posisinya semula. Duduk dengan tenang di seberang meja dihadapanku.

“Apa kau lupa siapa aku Jung Ha Won-ssi? Mencari keberadaan ayahmu, tidaklah sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami.” Donghae mengangkat kedua bahunya, entah apa maksud dari bahasa tubuhnya itu. Kesombongan pria ini semakin menjadi-jadi. Tanpa diperjelas, semua orang tahu seperti apa status sosialnya.

“Dan kau belum menjawabnya, kenapa harus aku? Bukankah di luar sana banyak wanita yang lebih baik dariku.”

“Well. Karena aku hanya menginginkanmu.” Deg. Aneh sekali, mendengar ucapan Donghae yang tentu saja hanya bualan, tapi justru jantungku berdegup keras sekali.

“Kau jangan terlalu berbesar hati dulu Ha Won-ssi. Aku tidak menaruh perasaan apa-apa padamu, karena aku sudah memiliki kekasih.” Sialan! Seperti dilambungkan tinggi ke atas langit tapi sedetik kemudian dijatuhkan paksa ke dasar tebing yang curam. Seorang Lee Donghae, hanya satu dari jutaan manusia kaya yang brengsek di muka bumi ini.

“Kenapa tidak kau nikahi saja kekasihmu itu huh?” Suaraku meninggi. Satu tanganku yang bersembunyi di bawah meja sudah mengepal kuat. Ingin sekali melayangkan tinju tepat pada hidung mancung pria itu hingga berdarah.

“Dan bukan kapasitasmu untuk bertanya masalah itu padaku.” Huh, membalik ucapanku rupanya.

“Bagaimana? Kalau kau setuju, segera kemasi barang-barangmu dan tiga hari ke depan kita kembali ke Korea.” Jawabnya enteng. Korea. Itu artinya, kemungkinan besar untuk bertemu dengan dua orang yang begitu aku hindari ada di depan mata. Tapi, sudah kepalang tanggung kalau aku mundur.

“Apa, kau yakin keluargamu akan menerimaku?” Hal yang sedikit terlupakan pada pertemuan ini. Keluarga Donghae, adalah masalah utama kalau aku menerima tawaran pernikahan bisnis ini.

“Kau tidak perlu terlalu cemas mengenai hal ini. Apa yang menjadi pilihanku, barang tentu akan diterima baik oleh mereka.” Pria itu sedang kembali berusaha meyakinkanku.

“Bagaimana?” Aku menarik nafas panjang. Takdir. Mungkin inilah benang merah yang sudah ada dalam kehidupanku semenjak terlahir. Kalau memang hanya ini pilihan yang ada untuk kembali membawa ayah, mau tidak mau, menjalani pernikahan bisnis yang saling menguntungkan bersama Lee Donghae, adalah keputusan yang tepat.

 

 

TBC

Yeah, udah pade ada bayangankah cemana cerita ini sebenarnya????

akakakkaka…. saiia ajah penasaran akutlah ama tiap lanjutannya, Eommaaaa kajja-kajja… lanjutannya. dah pada ngantri noh. hhohohohohohoo….

Buat yang pada nebak2 cerita ini mirip sama FF yg ini dan itu. sementara saiia sendiri belum pernah baca FF yg kalian maksud. yoookkkk…. kita liat ajah kelanjutannya. Coz,  kesamaan ide mah udah biasa. Tinggal tergantung cemana sang Author mengolahnya menjadi sesuatu yang beda.

okeeeehhhh………

selamat menikmati dan GHAMSAHAMNIDA……… :* #tebar kisseu banyak2 😀

 

73 pemikiran pada “Freelance : Wedding Contract – Part 1

  1. Yuhuuuuuuuuuuuuuuuuuu…. Hubungan Ha-Won dan ibu nya bener-bener kagak harmonis ya ??? Hah jadi Ha-Won itu sempat mencintai Kyuhyun, dan sekarang kabarnya Ibu Tiri nya Ha-Won mau nikah ama Kyuhyun ??? Hoah~ berarti Kyuhyun nikah ama ahjumma-ahjumma dongs… Kekekeke semoga aja Ayah Ha-Won gal bener-bener meninggal ya, dan semoga jalan yang sudah di ambil sama Ha-Won bernasib baik…

  2. Hyaaa ternyata beda eon XD
    konfliknya disini karna kyu selingkuh sama ibu tiri si ha won u,u
    walaupun modus untuk nikah sama donghae itu sama. karna si cewe pen nyari bapaknya..
    kalau di Lmab, si cewe setuju karna mau nyari abangnya. yaa beda tipis lah antara bapak dan abang .-.
    hahaha maap yee eon..bukannya mau nyama2in. tapi cuman pen ngasih tau aja letak kesamaannya ‘-‘)/
    sebenernya ada bbrp hal lagi sih yang punya kemiripan. tapi yasudahlah..
    daripada gue kena dampratt disini -__-

    kamprett yee..gue aja yang baca emosi.
    udah nikah sama bpk nya si ha won, terus gitu bpk nya mati..
    dia malah ngerebut kyu dari ha won ><
    wanita murahan u,u
    dan si kyu juga kenapa bodoh bgt mau menikahi bekas istri orang TAT
    dasar setan !!!

  3. wuahhhh kasian Ha Wonx…udh jatuh tertimpa tangga it c ktx orng indonesia….klo orng korea???? q g tw perumpamaannya…so, smangatttttttt…………jngn pedulikn orng lain bilang ap yg penting usahaaaa…….hahahahaha sok nasehatin sgala lg….mianhe…..

  4. Ho my god!
    Jd kyuhyun yg dulunya kekasih ha won, diambil sm ibu tirinya?! Ayah ha won hilang? Dan kyu jg ibu tiri ha won akan menikah? Kyu….. Masa milih mommy mommy??? Msh byk wanita single kyu!
    Eum keren keren ceritanyaaa… Suka bgt sm konfliknya yg mumet wkwkwk..
    Ini pasti jg seru bgt. Gk sabar pengen baca part 2 nya..
    Gumawo.. Part 1 nya daebak!

  5. Ini sperti cerita lain dr ff itu dengan keadaan yg sama namun org berbeda,,hahah
    Tp stiap ff ga dipungkiri punya tema yg sama,,cuma authornya aja yg mengolahnya jadi apikk dan berbeda,,
    Mudah”an tambah menarik ya,, dsini kyu bakal ky gmana ya?? Pengen liat pov’n kyu,,

  6. #shocked
    kyu mlih ahjuma2 ktimbang hawon ..
    parahnya itu ibu tiri..
    untung bukan ibu kandung
    tapi ttp jleb dn nyesek luar biasa mw siapapun itu

  7. Hy eonni 🙂
    aku reader bru disini, salam kenal
    ffnya keren, suka banget karakter donghae disini 😀
    next yah eonni
    hwaiting 🙂

  8. ff ini keren saya suka alurnya..!!
    Ff ini sedikit memiliki kemiripa dg ff LMaB dan ff mommy and me..
    Dimana mereka nikah kontrak untuk hal tertentu dan ibu si cwe punya pcr brondong macem kyu..
    Tp ttep beda kok..
    mau bca part slnjtnya dh..

  9. Omooooo
    ibu tiri’a masih muda kah?knp kyu selingkuh n mo nikah ama ibu tiri’a?OMG

    hmmm
    emang takdirnya sama,donghae,heheheh

  10. Jd, idupnye ha won tu kyak udh jatuh ketimpa tangga dtubruk badak??
    Udh appanya mninggal, dselingkuhin pacar (sama ibu tirinya) plus makan hati krna donge… Ckckck bnyaknya maslah…
    Tp ha won kyaknya manusia yg lmyan tangguh 🙂

Tinggalkan Balasan ke BLUE WORLD (@gyuhaesj) Batalkan balasan