Freelance : Wedding Contract – Part 2

1004420_201975279957937_2072339135_n

Author : Myflo IsKolor
Genre. : Angst
Leght. : Chaptered
Rating : PG – 15

Cast. : Lee Donghae, Jung Ha Won, Cho Kyuhyun, Jessica Jung

*************

 

 

 

Masih ada beberapa baju menggantung di almari yang belum aku masukkan ke dalam koper besar yang tergeletak persis di samping ranjang. Ku pikir, tidak membawa semua barang-barang yang masih tersisa adalah keputusan bijak agar tidak menyusahkanku waktu mengangkutnya ke bandara. Toh, kapan pun aku mau, aku masih bisa datang ke sini untuk mengunjungi Hana. Iya. Ini sudah menjadi keputusan final, aku menerima kerjasama yang ditawarkan Donghae dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Dan itu artinya, untuk dua hari ke depan, langkah-langkah kakiku akan kembali menapaki jalanan kota Seoul setelah dua tahun meninggalkannya.

“Perlu bantuan?” Hana berjalan mendekatiku yang masih sibuk bergelut dengan beberapa barang yang tergeletak di atas ranjang. Wanita itu hanya menggunakan kaos longgar berwarna biru muda dengan celana pendek berwarna senada. Sejak kapan dia berada dalam satu ruangan denganku? Bukankah, beberapa menit yang lalu saat aku mengambil jeda sejenak dari aktifitas ini untuk melangkah ke dapur, dia masih memasang wajah serius di depan layar komputer guna menganalisis masalah keuangan perusahaan.

“Sepertinya…,” jawabku dibarengi senyuman tipis. Kami bertatap mata sekilas, kemudian kembali fokus pada baju-baju yang belum sempat ku lipat. Hana mengikutiku, duduk bersilang di atas kasur yang terasa begitu nyaman. Entah sudah berapa lama aku tidak mengganti seprei, seingatku, mungkin sekitar satu bulan yang lalu.

“Kenapa tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke Korea?” Pertanyaan yang diajukan oleh Hana ku anggap sebagai hal yang wajar. Aku tidak memberitahu siapa pun tentang rencana pernikahanku dengan Donghae.

“Ada hal penting yang harus aku urus di sana.” Harapanku, wanita cantik yang mengikat asal rambut sebahunya itu tidak mendesakku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Karena aku tahu betul, Kim Hana bukanlah orang yang mudah dikelabuhi dengan rentetan kalimat yang terdengar tidak masuk akal.

“Apa, ada hubungannya dengan telepon dari bibi kemarin siang?” Terdengar sangat berhati-hati ketika Hana menyebutkan nama wanita itu. Aku tidak langsung menjawab, menimbang-nimbang sebentar untuk sekedar mengatakan, iya atau tidak.

“Jung…,” Hana memandangku dengan tatapan yang begitu menuntut. Kalau sudah begini, otak bebal lebih mendominasi cara kerja impulsifku.

“Tidak.” Bersamaan dengan jawaban yang keluar dari mulut, sungguh! Aku tidak punya nyali untuk menikmati mata hazel yang begitu cantik milik Hana. Aku takut, kebohongan yang sedang aku ciptakan untuk menutupi fakta, detik ini juga akan terungkap.

“Jung Ha Won-ssi.” Jari-jari kurus Hana meraih tanganku yang masih melakoni adegan melipat baju untuk mengalihkan perhatiannya. Ternyata, tidak ada gunanya sama sekali berpura-pura memasang wajah santai guna mengelabuhi wanita itu, seperti perkiraanku sebelumnya.

“Apa kali ini kau tidak mempercayaiku?” Hana melepas kacamata yang menggantung pas pada hidung mancung miliknya, kemudian meletakkan benda itu pada sisi kiri tubuh yang menghadapku. Dan mata sipit itu, semakin menambah kesan oriental yang kuat.

“Percayalah Kim Hana, aku sedang tidak menyembunyikan apapun darimu.” Ku buat nada suara yang terdengar begitu lelah dan putus asa, dengan tujuan untuk meyakinkan wanita itu.

“Bukankah kita sudah lama berteman Jung Ha Won-ssi? Apa yang kau takutkan dariku?” Benar ucapan Hana, tidak sepantasnya aku menyembunyikan masalah darinya. Hanya saja, aku sudah terlanjur menyanggupi salah satu syarat yang diajukan oleh Donghae untuk tidak membeberkan kerja sama ini pada siapa pun.

“Bukan seperti itu Hana-ya. Tapi…,” aku mendesah pelan, menyingkirkan kemeja hijau toska yang belum sempat ku masukan ke dalam koper. Tubuhku bangkit dari posisi duduk, lebih memilih berjalan menjauhi wanita itu dan menekuri pemandangan di luar sana dari balik kaca jendela yang ku biarkan sedikit terbuka.

“Tapi apa, Ha Won-ah?” Masih sabar Hana menunggu jawaban dariku. Bukan bermaksud untuk mempermainkan perasaan wanita itu. Hanya saja, meski pernikahan Yeosin dengan Kyuhyun yang akan aku jadikan sebagai alasan untuk menutupi kerjasama yang ditawarkan Donghae, tetap saja, tidak ada yang berubah disini. Jantungku, belum mati rasa. Dia masih bisa bekerja dengan normal dan menghasilkan denyutan nyeri. Efeknya, kelenjar airmata bekerja secara naluriah ketika mendapati manusia berada dalam titik kesedihan yang paling tinggi.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Hana sudah tidak menikmati duduk santainya di atas ranjang. Wanita itu sedang merangkul bahuku. Mendapati perhatian yang sebegitu tulus dari orang yang bahkan tidak lahir dari rahim yang sama dari ibuku, perasaan mengaru biru itu seketika menyeruak. Seperti sebuah tangan yang terulur ketika aku terjerembab di atas tanah yang beraspal, begitu pun dengan wanita ini. Tidak hanya dalam kebahagian. Hana, selalu bersama keterpurukanku selama dua tahun ini.

“Mereka…,” Astaga! Kenapa suaraku terdengar begitu buruk seperti ini? Apa yang sebenarnya sedang aku tangisi? Bukankah sudah pernah berucap dalam hati, tidak akan pernah lagi menjadi manusia paling bodoh dengan meratapi keputusan yang sudah menjadi pilihan pria itu.

“Kalau kau tidak siap bercerita, tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksamu.” Hana meraih dua bahuku, membuat posisi kami saling berhadapan. Jari-jari yang terasa lembut itu, pelan sekali menghapus air asin yang sudah berhasil mengotori pipiku. Aku menggeleng lemah dan bergegas melanjutkan kalimat yang terhenti.

“Mereka, bulan depan akan menikah Hana-ya.” Aku menangis bercampur sebuah senyuman, senyum miris yang lebih pada menertawakan diri sendiri.

“Mereka? Maksudmu?” Hana memasang mimik wajah berpikir sejenak. Begitu mendapatkan jawaban dari maksud ucapanku, wanita itu terpekik. Suaranya yang selalu didominasi dengan vibra yang lembut, kini lenyap. Aku menunduk, lamat-lamat lantai marmer yang berwarna coklat, tiba-tiba saja nampak buram karena bola mataku sudah dipenuhi airmata.

“Astaga Jung Ha Won!!! Bagaimana bisa mereka memperlakukanmu seperti ini.” Lagi-lagi aku hanya mampu menggeleng. Hana meraih tubuhku ke dalam dekapannya yang terasa begitu hangat. Meski dia lebih muda beberapa bulan dariku, aku selalu menganggap Hana seperti seorang kakak yang begitu menyayangi adik perempuannya, yaitu, aku.

“Kau kuat, Ha Won-ah.” Bisiknya lirih dalam indra pendengaran. Hana sedang memberikan kekuatan yang hilang dalam diriku. Dan isakan itu, semakin terdengar memilukan.

Lama kami berada pada posisi saling menguatkan seperti ini. Setelah mendapatkan otakku yang bisa berpikir dengan normal, aku menarik diri dari dekapan Hana. Sungguh! Aku berterima kasih pada Tuhan, sudah mempertemukanku dengan wanita yang luar biasa baik dan sangat cantik ini.

“Terima kasih Hana-ya. Anggap saja aku terlalu terbawa suasana hingga kembali menangisi Cho Kyuhyun yang idiot itu.” Aku memeluk lengan, menyandarkan tubuh tinggiku pada dinding. Bola mata menerawang gamang langit-langit kamar yang tidak rata. Ada ukiran seperti undakan dengan ukuran yang lebih kecil beberapa kali lipat dari yang ada di ruang tamu.

“Kau yakin sanggup bertemu Bibi?” Tanya wanita itu memastikan.

“Sanggup tidak sanggup, tidak ada pilihan yang lebih adil, bukan?” Nafasku terdengar menyedihkan ketika menghembuskan udara dengan irama yang begitu berat. Aku menatap manik mata wanita itu dengan sebuah senyuman yang terlihat lemah.

“Kalau kau tidak sanggup, jangan memaksakan diri.” Nasihat yang jarang aku dapatkan dari siapa pun setelah memutuskan untuk pindah ke Jepang.

“Kau terlalu mendramatisir keadaan Hana-ya. Kalau aku bisa bertahan selama beberapa tahun ini, kenapa tidak dengan hitungan jam yang akan aku habiskan untuk beradu argumen dengan wanita itu.” Jawabku retoris. Setelahnya, aku terkekeh keras. Dan entah apa yang salah, justru Hana memberikan pandangan yang terlihat aneh. Dahinya berjengit heran.

“Kenapa memandangku seperti itu?”

“Kau aneh.” Jawab wanita itu cepat. Kepalanya menggeleng berkali-kali. Dan seperti biasa, kalau sudah mendapatiku seperti ini, dia paham betul, keadaan hatiku sudah berangsur-angsur membaik.

“Lalu, kapan kau akan pulang?”

“Lusa.” Pikiranku kembali melayang pada satu nama, Lee Donghae. Dia bilang akan segera menghubungiku untuk memberitahu jadwal keberangkatan pesawat kami. Tapi, sampai sekarang ponselku belum sekali pun berdering dengan nama pria itu terpampang di layar telepon.

“Oke. Apapun yang terjadi, Tuhan punya rencana yang baik untukmu Ha Won-ah. Hanya saja, belum waktunya kau bisa menebak teka-teki itu.” Hana menepuk bahuku. Kembali memberikan kekuatan untuk menjalani hari setelah semua kejadian “tidak baik” selama ini. Jiwa seorang katolik yang taat kembali keluar, dan itu milik Hana.

 

***

 

Aku bersyukur Hana tidak diijinkan mengambil cuti hari ini untuk mengantarkanku sampai ke bandara. Dengan begitu, setidaknya aku tidak perlu bersusah payah menelpon sopir taksi langganan kami -aku dan Hana- untuk mengangkut barang-barang, karena pria konglongmerat itu sudah berdiri angkuh di depan rumah. Yah, meski baru beberapa kali bertemu dengannya, aku sudah bisa menebak tabiat seorang kaya raya seperti Lee Donghae. Dia tidak akan bersusah payah berlarian kecil ke arahku hanya untuk sekedar menolong. Jenis orang seperti ini, hanya pandai memerintah dan mendikte orang lain sesuai kemauannya. Khas prejudis sekali.

Sedikit terseok menarik satu koper besar dan tas punggung yang tidak bisa dikatakan ringan, ayunan langkahku mendekati Jaguar Metalic Donghae yang terparkir sembarangan di pelataran rumah. Pria itu merogoh saku dan mengeluarkan kunci mobil, lalu menekan salah satu tombolnya untuk membuka bagasi. Tidak memberikan interupsi apapun, dia lebih memilih berputar ke samping kiri mobil dan membuka pintu, menungguku dengan tenang di dalam sana, jaguar mewahnya. Sedang aku, harus bersusah payah sendiri memasukkan barang-barang sialan ini. Tahu menyusahkan, tidak seharusnya terlalu gegabah memindahkan seluruh isi lemari ke dalam koper.

Nafasku sedikit terengah, peluh juga sudah membuat dahiku sedikit basah. Beruntung, aku tidak memoleskan bahan kimia apapun pada wajah untuk menghilangkan kesan pucat setelah semalaman terbuai insomia yang menyebalkan.

“Sampai kapan kau mau berdiri di sana?” Kepala Donghae menyembul dari kaca mobil yang terbuka, memberikan tatapan garang yang sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagiku.

“Ck!” Aku mendecak sebal. Ingin sekali menyumpal mulut pria itu dengan sneakers yang menjadi alas kakiku hari ini.

Sebelum membuka pintu jaguar, aku memandang rumah sederhana yang menjadi tempat tinggalku bersama Hana selama dua tahun ini. Banyak sekali kenangan di sana. Bagaimana setiap malam setelah mendapati Kyuhyun berselingkuh dengan Yeosin, diam-diam dalam temaramnya malam aku akan menyurukkan airmata. Lalu dengan langkah mengendap seperti seorang pencuri, sahabatku itu akan membuka knop pintu dengan pelan sekali untuk memastikan keadaanku. Tidak terasa, aku menangis lagi. Tapi, kali ini bukan karena Cho Kyuhyun, melainkan karena seorang Kim Hana.

“Cepat masuk!” Perintah pria brengsek itu, lagi.

Untuk meluapkan perasaan yang tidak berbentuk, percampuran antara emosional milik Lee Donghae, dan kesedihan milik Kim Hana, aku membanting keras pintu mobil. Lalu dengan kasar menjatuhkan tubuh pada kursi penumpang yang terasa begitu nyaman. Ini hal yang wajar, mengingat jenis aset pribadi pria diktator itu yang nampak mahal dan berkelas. Harus menandatangi kontrak kerjasama berapa tahun dengannya agar bisa mendapatkan imbalan mobil ini, entahlah. Aku tidak berpikiran sampai sejauh itu. Hanya ayahlah yang menjadi tujuan utamaku saat ini.

Selama dalam perjalanan, kami tidak saling beradu kalimat retoris maupun yang bernada sarkatis. Susah tidur yang menyerangku setelah tawaran pria ini berlaku, membuat dua mataku lebih memilih terkatup dari pada menekuri pemandangan dari balik kaca mobil. Aku tidak memikirkan keberadaan Donghae yang mengemudi tepat di sampingku. Lelah itu, berimbas pada tidur lelap yang membiarkanku berada dalam dimensi lain selama beberapa jam menuju ke bandara. Dan begitu aku terjaga, ada perasaan aneh yang menyerangku saat melihat riuh orang-orang yang berlalu-lalang di sana.

Menempuh perjalanan selama hampir 1 jam 45 menit, aku menempati kabin eksklusif yang menjadi pilihan Si Prejudis, Lee Donghae. Melihat arak-arakan awan berwarna putih yang tidak ada habisnya dari balik kaca jendela yang tidak terlalu besar. Sesekali, gumpalan asap itu akan beradu dengan sayap pesawat. Dan ketika roda-roda besar itu beradu dengan aspal, menghasilkan suara desingan yang begitu jelas, aku sudah kembali pada masa lalu yang menyeramkan.

***

 

@ Incheon Airport, South Korea

Aku mendorong troli yang berisi barang-barang yang ku bawa dari Jepang. Pria itu membuntutiku, berjalan di belakang dengan jarak yang sangat dekat. Mulai dari pesawat sampai sekarang ini, Donghae tidak berpesan apa-apa. Dia hanya meminta alamat dan nomor telepon rumah yang bisa sewaktu-waktu dihubunginya. Dan sesuai dengan yang aku rencanakan saat masih berada di Jepang, bukan rumah orang tuaku yang masih dihuni oleh wanita sialan itu yang akan aku tuju.

Begitu petugas bandara tidak menemukan barang-barang yang dianggap melanggar hukum, aku bisa melenggang bebas menuju tempat kedatangan luar negeri yang sudah ramai. Aku berhenti sejenak dan mulai mencari-cari seseorang yang akan menjemputku. Tidak mudah menemukan sepupu perempuanku itu diantara ratusan orang yang berjubel seperti segerombolan semut hitam yang selalu membuat koloni di dinding. Saat aku masih berjibaku dengan pencarian, Donghae berjalan melewatiku begitu saja. Punggungnya yang tidak terlalu lebar, kali ini hanya dilapisi kemeja putih polos yang berukuran pas badan. Sialan! Kenapa semakin lama pria ini terlihat begitu, err.. mempesona.

“Jung Ha won!!! ”

Wanita yang tingginya tidak berbeda denganku itu berteriak keras di depan sana, menyadarkanku dari imajinasi murahan tentang Lee Donghae. Victoria Eonni sudah tersenyum lebar dan berlari ke arahku.

“Eonni…,”

Dia menghambur ke pelukan dan menggoyangkan tubuhku dengan membuat gerakan ke kanan dan ke kiri, persis seperti anak kecil yang begitu girang mendapati permen kapas berada dalam genggaman tangannya.

“Oh sayang, aku sangat merindukanmu.” Dia memberitahu tentang apa yang dirasakannya saat ini. Sebelum terlalu jauh tenggelam dalam adegan dramatis khas drama ini, aku melihat seorang pria bertubuh jangkung dari balik punggung Victoria sedang memperhatikan kami. Aku seperti familiar dengan wajah itu. Tapi, entahlah, aku lupa dan enggan untuk mengingatnya.

“Siapa dia?” Bisikku lirih tepat pada cuping kiri sepupuku. Kepala Victoria berputar, dan memandang sekilas pria itu. Kenapa, wajahnya merah padam seperti kepiting rebus setelahnya. Ehm, sepertinya aku tahu status hubungan mereka.

“Namanya Shim Changmin. Sunbaeku di rumah sakit tempatku bertugas.” Jawabnya malu-malu.

“Kekasihmu?” Skakmate. Aku menahan tawa saat Victoria sedikit gelagapan. Tangannya langsung terjulur menuju leher bagian belakang. Berkali-kali mengusap tengkuk yang tidak tertutup rambut panjangnya karena ikatan ekor kuda menjadi pilihan penampilannya sore ini.

“B-bukan…,” jawabnya tergagap.

“Kau berhutang banyak cerita padaku, Nona.” Setelahnya, aku menarik koper dan memberikan ranselku pada Victoria yang memberengut. Masa bodoh kalau dia tidak suka, kami sudah terbiasa dengan keakraban seperti ini. Hanya saja, setelah aku pindah ke Jepang, kami jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing.

“Hai. Aku Jung Ha Won.” Aku mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Changmin.

“Shim Changmin Imnida.” Balasnya ramah. Benar-benar manner khas seorang dokter yang begitu menjunjung tinggi sopan santun.

“Terima kasih sudah mau mengantar sepupuku ini.” Jari telunjukku mengarah pada wajah Victoria. Wanita itu menepisnya cepat dan berjalan mendahului kami sebelum aku berhasil menggodanya lagi. Ternyata, menyenangkan sekali “membully” wanita itu. Hampir saja aku tersedak karena menahan tawa yang membuat perutku sedikit sakit begitu melihat reaksi alamiah yang ditunjukkan oleh orang-orang yang sedang terlibat percintaan. Menggelikan sekali, gumamku.

Dan saat itulah mataku menangkap pemandangan yang tidak mengenakkan. Seorang perempuan berambut blonde dengan senyum yang terlihat dibuat-buat keluar dari mobil berwarna hitam lalu mengecup mesra pipi Donghae. Entah perasaan aneh apa ini, aku tidak suka saat pria itu begitu senang menerima kecupan itu. Seharusnya, tidak ada yang pantas untuk tidak aku sukai dari kehidupan pribadi pria itu. Bukankah dia pernah berujar, privasinya, tidak menjadi kapasitasku sebelum dan sesudah pernikahan kami. Gelegak nyeri kembali lagi mempertontonkan kekuatannya. Menghantam rongga dadaku bertubi-tubi hingga membuatku sulit sekali untuk bernafas. Ini benar-benar konyol dan tidak masuk akal. Lee Donghae, bukanlah siapa-siapa bagiku untuk sekarang maupun selanjutnya. Pernikahan yang akan kami jalani, semata-mata hanya karena perjanjian di atas selembar kertas bermaterai.

 

***

 

“Kau sudah mendengar tentang rencana pernikahan Yeosin?” Aku sedang sibuk membuka zipper koper untuk memindahkan barang saat mulut Victoria melontarkan pertanyaan yang begitu sensitif dan sangat ku hindari.

“Sudah.”

“Ck! Apa yang ada di dalam otak wanita gila itu? Pasti dia yang memberitahumu, kan? Victoria sayang, apa aku harus menulis dengan huruf kapital pada dahimu yang lebar itu, kalau aku tidak ingin membahas masalah ini.

“Vic…,” geramku dengan suara tertahan.

“Maaf.” Sesalnya setelah mendapati reaksiku yang tidak terlalu bersahabat.

“Bukan maksudku. Hanya saja, itu masalah yang paling tidak ingin aku bahas untuk sekarang ini.” Jelasku dengan nada suara yang sudah bisa ku kendalikan. Aku juga menyesal sudah memperlakukan wanita itu sedikit kasar. Aku tahu Victoria tidak bermaksud untuk membuka luka lama dan kembali mengingatkanku pada traumatis itu.

“Aku tahu.” Senyum tulus itu, sungguh menjadi favoritku dari seorang Victoria Song.

“Ya sudah, kau istirahat dulu. Aku ada shift malam ini.” Victoria berpamitan padaku dan berjalan ke arah pintu yang tertutup. Memutar knop dan menutupnya kembali setelah tubuhnya berada di luar kamar. Aku melirik jam yang menggantung di dinding, pukul 08.00 malam.

Setelah mengganti nomer ponsel, aku berniat untuk mengirimi Donghae pesan agar tidak perlu menggunakan telepon rumah ketika ingin menghubungiku. Meraih ponsel yang tergeletak di atas meja nakas, aku menggeser tanda pengunci layar dan langsung menuju menu pesan.

To : Prejudis Lee

Ini aku, Jung Ha Won. Tidak perlu memakai telepon rumah untuk menghubungiku.

Aku kembali meletakkan ponsel ke atas meja, menunggu balasan dari Donghae dengan degup jantung yang tidak terkendali. Setelah beberapa menit berlalu, meja nakas bergetar, menandakan sebuah balasan dari pria itu.

From : Prejudis Lee

Aku tahu. Apa yang sedang kau lakukan?

Apa aku sedang bermimpi? Pria itu, menanyakan hal diluar konteks kerjasama kami. Seperti orang tidak waras, aku tersenyum bahagia. Seperti gadis remaja belasan tahun yang baru mengenal cinta. Cinta? Astaga. Sepertinya, aku sudah berpikiran terlalu jauh.

To : Prejudis Lee

Membereskan barang-barang yang begitu menyusahkan.

Aku menekan tombol “send” dan memutuskan untuk menyudahi aktifitas yang begitu menyita tenaga, kemudian merebahkan tubuh yang terasa begitu lelah pada ranjang yang masih rapi. Kelihatannya, ibu Victoria yang membereskan tempat ini, mengingat tidak ada seorang pun pekerja tetap yang dibayar untuk melakukannya. Layar ponselku kembali menyala. Lee Donghae, pikirku.

From : Prejudis Lee

Kau juga menyusahkan, Nona Jung.

Hei. Apa-apaan Lee Donghae ini. Apa maksudnya mengatakan kalau aku menyusahkan? Dimana garis besar dari kelakuanku yang selama ini bisa dianggap menyusahkan.

To : Prejudis Lee

Atas dasar apa kau bisa mengatakan kalau aku menyusahkan?

Posisi tidurku berubah. Aku menelungkupkan badan dan meletakkan ponsel tepat di depan kepala. Sesekali meraih benda itu untuk mengecek balasan pesan dari Donghae yang kali ini tidak direspon dengan cepat. Dan entah karena terlalu lelah, atau terlalu berharap pria itu membalas pesan, aku sudah tertidur pulas sampai pagi. Samar-samar, aku mendengar seseorang mengetuk pintu dari luar, membangunkanku yang masih enggan membuka mata lebar-lebar untuk bergabung di meja makan. Sarapan pagi, tebakanku.

***

 

Donghae memintaku untuk menemuinya setelah menghabiskan jam makan siang dengan seseorang yang penting. Mengacu pada kata kunci “seseorang yang penting” ada dua opsi di sini. Pertama, seorang klien atau petinggi perusahaan yang terlibat kerjasama dengannya. Karena menurut analisisku, melihat pekerjaan pria itu sebagai pebisnis dengan jam terbangnya yang tinggi, tidak mungkin kalau dia hanya berpangku tangan dan membiarkan seorang bawahan untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis yang sudah dibangun turun temurun oleh keluarganya.

Opsi kedua. Memutar memori tentang pernyataannya yang mengatakan bahwa dia sudah memiliki “seseorang yang dicintai” ketika negosiasi kami tempo hari di restoran dekat Shibuya, Jepang. Bisa jadi ini yang menjadi maksud dari pria itu. Jujur, aku penasaran dengan wanita yang menjadi kekasih resmi seorang Lee Donghae. Apakah wanita berambut blode yang menjemputnya di bandara tempo hari dan memberikan kecupan. Atau, ada wanita-wanita lain yang berbeda. Entahlah.

Menatap gedung pencakar langit dengan bentuk modern yang menjulang tinggi, aku menggunakan salah satu telapak tangan untuk menghalau sorot matahari yang masih begitu terik. Dan sesuai pesan dari pria itu, aku memakai pakai yang terlihat rapi dan menonjolkan kesan “wanita” disini. Untuk sementara, aku harus mengucapkan selamat tinggal pada celana jeans dan sneakers kesayanganku, lalu menggantinya dengan sepasang wedges yang menyusahkan. Memadukan blouse putih gading beraksen renda-renda dengan lengannya yang tidak melebihi batas siku, rok bermotif bunga-bunga warna biru tua aku pilih sebagai bawahan. Dengan barang-barang wanita ini, ku rasa sudah cukup bisa mengubah penampilanku.

Aku memasuki lobi kantor untuk menyampaikan pada bagian resepsionis, bahwa aku sudah membuat appointment dengan bos mereka. Anehnya, hanya dengan menyebutkan nama Jung Ha Won, dua wanita berpenampilan cantik dan sangat rapi itu langsung memperlakukanku dengan istimewa. Salah satu dari wanita itu membawaku menuju lift dan menekan tombol 12, mungkin tempat dimana ruangan Donghae berada. Aku berdiri kaku di samping wanita muda bermarga Park, begitu yang aku baca dari identitas pengenalnya yang terpasang pas pada seragam kantor yang berwarna coklat muda.

Begitu pintu lift terbuka, Nona Park – begitu selanjutnya aku memanggilnya – hanya menunjukkan salah satu pintu yang menghadap ke sisi kanan dengan tulisan CEO dari satu pintu lagi yang letaknya bersebelahan. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih, wanita itu membungkuk hormat sebagai balasan dan kembali masuk ke dalam lift. Begitu tubuhnya menghilang, pandanganku beralih pada pintu ruangan kantor Donghae.

Sedikit gugup, aku berjalan menuju tempat kerja pria itu. Tapi, belum sampai beberapa langkah ayunan kakiku terhenti. Pintu terbuka dan Donghae keluar bersama seorang pria yang aku yakini sebagai partner bisnisnya, karena melihat keduanya yang tengah berbincang akrab dan sesekali tergelak keras, semakin menguatkan asumsi sepihakku. Donghae belum menyadari keberadaanku, dan itu aku gunakan untuk menyembunyikan tubuh di balik tembok yang berwarna putih. Sesekali, aku mengendap untuk memastikan partner Donghae yang belum bisa aku lihat wajahnya karena berdiri membelakangiku sudah berlalu, atau belum. Kalau dipikir, aku tidak jauh berbeda dengan pencuri yang sedang mengamati gerak-gerik mangsanya, konyol sekali.

Dan ketika mereka berjalan beriringan menuju lift, tubuhku mengejang hebat. Ini, tidak mungkin. Bahkan tas genggam yang sedetik tadi masih berada dalam tanganku, kini sudah jatuh merasakan dinginnya lantai keramik. Cho Kyuhyun, pria itu ada di sana bersama Lee Donghae. Bagaimana bisa Tuhan memberikan jalan yang begitu mudah untuk penglihatanku kembali menangkap siluetnya? Ini mustahil. Mengingat bagaimana mati-matian aku berusaha melupakan mantan kekasihku itu.

Aku masih terpekur dalam keterkejutan dan berusaha mengembalikan nafas agar segera bekerja normal saat keduanya berjalan melewatiku. Refleks, tubuhku berbalik dengan posisi memunggungi mereka. Jujur, aku masih belum terlalu pandai mengendalikan perasaan saat dihadapkan pada situasi seperti sekarang ini. Cho Kyuhyun, sukses membuat emosiku pasang surut. Hanya saja, tidak ingin terlalu berlarut-larut dalam gelungan masa lalu yang tidak membahagiakan, otakku bekerja dengan cepat. Tidakkah ada yang tidak berguna dengan kebetulan ini? Kalau pria itu mengenal Donghae, tentu saja dia akan menjadi salah satu dari banyaknya tamu undangan saat pernikahan kami. Aku tersenyum tipis, Jung Ha Won yang cengeng dan lemah itu, kini sudah mati. Kalau Kyuhyun bisa mencampakkanku demi wanita murahan itu, aku juga sanggup memperlakukan hal yang sama pada pria itu, bukan. Kalau kemarin adalah hari yang menjadi milik Kyuhyun, berarti, sekarang adalah giliranku.

 

TBC

 

68 pemikiran pada “Freelance : Wedding Contract – Part 2

  1. Hemmm gt dong Ha Won…..jngn lemah truzzz…bangkit n tunjukkan klo km kuat….buat kyu+ibu tirimu tw klo km kuatttt
    lanjutttttt thorrrr…..g sbr nunggu part berikutx…..

  2. Kasian ha won. Ibu tirinya yg jelas2 nikah sm bapaknya malah selingkuh dgn kekasihnya.
    Kya… Daebak bgt!
    Jd makin penasaran!
    Ini seru bgt!
    Bayangin jika nanti ha won bertemu kyuhyun dan ha won sdh jd milik hae hehehehehe… Pasti seru bgt!
    FF nya daebak!
    Kelanjutannya kutunggu chingu. Gumawo

  3. good! bagus.. tunjukkan taringmu ha won~ah
    ini nih kali kali.. ff nya cewek yg diselingkuhin harus kuat tegar dan gak boleh cengeng..
    bair tahu rasa tuh kyupil ! karma karma karma~~~~

  4. Wahhh…. Daebakk eonni 😀
    feeling aku mengatakan klu donghae udh jatuh cinta sama ha won, jdi dia gunakan cara itu utk mengikat ha won 😀 #Justopinion
    next yah eonni
    hwaiting

Tinggalkan Balasan ke aina fitria Batalkan balasan